Kali ini, sambil menunggu surat edaran dan pengumuman waktu seleksi
Paskibraka untuk kabupaten bekasi, brigadista akan menghantarkan sebuah
cerita yang berasal dari daratan sumatera, tepatnya daerah sumatera
barat. Sebuah cerita terbentuknya/asal mula Minangkabau (bukan tentang
sejarah Paskibra/paskibraka Minangkabau).
Minangkabau atau yang
biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa
dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi
Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian
barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga
Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang
seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota
provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini
biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud
sama dengan orang Minang itu sendiri). (sumber: Wikipedia.org)
Minangkabau
termasuk salah satu nagari (desa) yang berada di wilayah Kecamatan
Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat. Nagari ini
dulunya masih berupa tanah lapang. Namun, tersebab oleh sebuah
peristiwa, daerah itu dinamakan Nagari Minangkabau. Peristiwa apakah
itu? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Nagari Minangkabau.
Dahulu,
di Sumatera Barat, tersebutlah sebuah kerajaan bernama Kerajaan
Pagaruyung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan
bijaksana. Rakyatnya senantiasa hidup aman, damai, dan tenteram. Suatu
ketika, ketenteraman negeri itu terusik oleh adanya kabar buruk bahwa
Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa akan menyerang mereka. Situasi
tersebut tidak membuat para punggawa Kerajaan Pagaruyung gentar.
“Musuh
pantang dicari, datang pantang ditolak. Kalau bisa dihindari, tapi
kalau terdesak kita hadapi,” demikian semboyan para pemimpin Kerajaan
Pagaruyung.
Suatu hari, pasukan Kerajaan Majapahit tiba di Kiliran
Jao, sebuah daerah di dekat perbatasan Kerajaan Pagaruyung. Di tempat
itu pasukan Kerajaan Majapahit mendirikan tenda-tenda sembari mengatur
strategi penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung. Menghadapi situasi genting
itu, para pemimpin Pagaruyung pun segera mengadakan sidang.
“Negeri
kita sedang terancam bahaya. Pasukan musuh sudah di depan mata.
Bagaimana pendapat kalian?” tanya sang Raja yang memimpin sidang
tersebut.
“Ampun, Paduka Raja. Kalau boleh hamba usul, sebaiknya kita
hadapi mereka dengan pasukan berkuda dan pasukan gajah,” usul panglima
perang kerajaan.
“Tunggu dulu! Kita tidak boleh gegabah,” sanggah
Penasehat Raja, “Jika kita serang mereka dengan pasukan besar,
pertempuran sengit pasti akan terjadi. Tentu saja peperangan ini akan
menyengsarakan rakyat.”
Suasana sidang mulai memanas. Sang Raja yang bijaksana itu pun segera menenangkannya.
“Tenang,
saudara-saudara!” ujar sang Raja, “Saya sepakat dengan pendapat Paman
Penasehat. Tapi, apa usulan Paman agar peperangan ini tidak menelan
korban jiwa?”
Pertanyaan sang Raja itu membuat seluruh peserta
sidang terdiam. Suasana pun menjadi hening. Semua perhatian tertuju
kepada Penasehat Raja itu, mereka tidak sabar lagi ingin mendengar
pendapatnya. Beberapa saat kemudian, Penasehat Raja itu pun angkat
bicara.
“Ampun, Paduka Raja. Untuk menghindari terjadinya
pertumpahan darah, alangkah baiknya jika musuh kita ajak berunding. Kita
sambut mereka di perbatasan kemudian berunding dengan mereka. Jika
mereka menolak, barulah kita tantang mereka adu kerbau,” ungkap
Penasehat Raja.
“Hmmm... ide yang bagus,” kata sang Raja, “Bagaimana pendapat kalian semua?”
“Setuju, Paduka Raja,” jawab seluruh peserta sidang serentak.
Selanjutnya,
sang Raja bersama punggawanya pun menyusun strategi untuk mengalahkan
musuh tanpa pertumpahan darah. Sang Raja segera memerintahkan kepada
putri Datuk Tantejo Garhano untuk menghiasi anak-anak gadisnya dan
dayang-dayang istana yang cantik dengan pakaian yang indah. Datuk
Tantejo Garhano adalah seorang putri yang memiliki tata krama dan
kelembutan. Sifat-sifat itu telah diajarkan oleh Datuk Tantejo Garhano
kepada anak-anak gadisnya serta para dayang istana.
Setelah semua
siap, Datuk Tantejo Garhano bersama anak-anak gadisnya serta
dayang-dayang istana menuju ke perbatasan untuk menyambut kedatangan
pasukan musuh. Mereka pun membawa berbagai macam makanan lezat untuk
menjamu pasukan Majapahit. Sementara itu, dari kejauhan, pasukan
Pagaruyung terlihat sedang berjaga-jaga untuk menjaga segala kemungkinan
yang bisa terjadi.
Tak berapa lama setelah rombongan Datuk Tantejo
Garhano tiba di perbatasan, pasukan musuh dari Majapahit pun sampai di
tempat itu.
“Selamat datang, Tuan-Tuan yang budiman,” sambut Datuk
Tantejo Garhano dengan sopan dan lembut. “Kami adalah utusan dari
Kerajaan Pagaruyung. Raja kami sangat senang dengan kedatangan Tuan-Tuan
di istana. Tapi sebelumnya, silakan dicicipi dulu hidangan yang telah
kami sediakan! Tuan-Tuan tentu merasa lapar dan lelah setelah menempuh
perjalanan jauh.”
Melihat perlakuan para wanita cantik itu, pasukan
Majapahit menjadi terheran-heran. Mereka sebelumnya mengira bahwa
kedatangan mereka akan disambut oleh pasukan bersenjata. Namun, di luar
dugaan, ternyata mereka disambut oleh puluhan wanita-wanita cantik yang
membawa hidangan lezat. Dengan kelembutan para wanita cantik tersebut,
pasukan Majapahit pun mulai goyah untuk melancarkan serangan hingga
akhirnya menerima tawaran itu.
Setelah pasukan Majapahit selesai
menikmati hidangan dan beristirahat sejenak, Datuk Tantejo Garhano
segera mengajak pemimpin mereka ke istana untuk menemui sang Raja.
“Mari, Tuan! Raja kami sedang menunggu Tuan di istana!” bujuk Datuk Tantejo Garhano dengan santun.
“Baiklah, saya akan segera menemui Raja kalian,” jawab pemimpin pasukan itu.
Setiba
di istana, Datuk Tantejo Garhano langsung mengantar pemimpin pasukan
itu masuk ke ruang sidang. Di sana, sang Raja bersama punggawanya
terlihat sedang duduk menunggu.
“Selamat datang, Tuan,” sambut sang Raja, “Mari, silakan duduk!”
“Terima kasih, Paduka,” ucap pemimpin itu.
“Ada apa gerangan Tuan kemari?” tanya sang Raja pura-pura tidak tahu.
“Kami diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Pagaruyung. Kami pun harus kembali membawa kemenangan,” jawab pemimpin itu.
“Oh,
begitu,” jawab sang Raja sambil tersenyum, “Kami memahami tugas Tuan.
Tapi, bagaimana kalau peperangan ini kita ganti dengan adu kerbau.
Tujuannya adalah untuk menghindari pertumpahan darah di antara pasukan
kita.”
Pemimpin pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menyetujui usulan sang Raja.
“Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran Paduka,” jawab pemimpin itu.
Akhirnya,
kedua belah pihak bersepakat untuk beradu kerbau. Jika kerbau milik
sang Raja kalah, maka Kerajaan Pagaruyung dinyatakan takluk. Tapi, jika
kerbau milik Majapahit kalah, mereka akan dibiarkan kembali ke Pulau
Jawa dengan damai.
Dalam kesepakatan tersebut tidak ditentukan jenis
maupun ukuran kerbau yang akan dijadikan aduan. Oleh karena ingin
memenangi pertandingan tersebut, pasukan Majapahit pun memilih seekor
kerbau yang paling besar, kuat, dan tangguh. Sementara itu, sang Raja
memilih seekor anak kerbau yang masih menyusu. Namun, pada mulut anak
kerbau itu dipasang besi runcing yang berbentuk kerucut. Sehari sebelum
pertandingan itu dihelat, anak kerbau itu sengaja dibuat lapar dengan
cara dipisahkan dari induknya.
Keesokan harinya, kedua kerbau aduan
segera dibawa ke gelanggang di sebuah padang yang luas. Para penonton
dari kedua belah pihak pun sedang berkumpul di pinggir arena untuk
menyaksikan pertandingan yang akan berlangsung sengit tersebut. Kedua
belah pihak pun bersorak-sorak untuk memberi dukungan pada kerbau aduan
masing-masing.
“Ayo, kerbau kecil. Kalahkan kerbau besar itu!” teriak penonton dari pihak Pagaruyung.
Dukungan dari pihak pasukan Majapahit pun tak mau kalah.
“Ayo, kerbau besar. Cincang saja anak kerbau ingusan itu!”
Suasana
di tanah lapang itu pun semakin ramai. Kedua kerbau aduan telah dibawa
masuk ke dalam arena. Suasana pun berubah menjadi hening. Penonton dari
kedua belah pihak terlihat tegang. Begitu kedua kerbau tersebut dilepas,
kerbau milik Majapahit terlihat beringas dan liar. Sementara itu, anak
kerbau milik Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada kerbau besar
itu karena mengira induknya.
Tak ayal, perut kerbau milik Majapahit
pun terluka terkena tusukan besi runcing yang terpasang di mulut anak
kerbau milik Pagaruyung. Setelah beberapa kali tusukan, kerbau milik
pasukan Majapahit akhirnya roboh dan terkapar di tanah. Melihat kejadian
itu, penonton dari pihak Pagaruyung pun bersorak-sorak gembira.
“Manang kabau..., Manang kabau...,” demikian teriak mereka.
Akhirnya,
pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan tersebut. Mereka
pun diizinkan kembali ke Majapahit dengan damai. Sementara itu, berita
tentang kemenangan kerbau Pagarayung tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Kata “manang kabau” yang berarti menang kerbau pun menjadi pembicaraan
di mana-mana. Lama-kelamaan, pengucapan kata “manang” berubah menjadi
kata “minang”. Sejak itulah, tempat itu dinamakan Nagari Minangkabau,
yaitu sebuah nagari (desa) yang bernama Minangkabau.
Sebagai upaya
untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri Pagaruyung merancang
sebuah rumah rangkiang (loteng) yang atapnya menyerupai bentuk tanduk
kerbau. Konon, rumah itu dibangun di perbatasan, tempat pasukan
Majapahit dijamu oleh para wanita-wanita cantik Pagaruyung.
Asal Mula Nama Nagari Minangkabau
Kali
ini, sambil menunggu surat edaran dan pengumuman waktu seleksi
Paskibraka untuk kabupaten bekasi, brigadista akan menghantarkan sebuah
cerita yang berasal dari daratan sumatera, tepatnya daerah sumatera
barat. Sebuah cerita terbentuknya/asal mula Minangkabau (bukan tentang
sejarah Paskibra/paskibraka Minangkabau).
Minangkabau atau yang
biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa
dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi
Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian
barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga
Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang
seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota
provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini
biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud
sama dengan orang Minang itu sendiri). (sumber: Wikipedia.org)
Minangkabau
termasuk salah satu nagari (desa) yang berada di wilayah Kecamatan
Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat. Nagari ini
dulunya masih berupa tanah lapang. Namun, tersebab oleh sebuah
peristiwa, daerah itu dinamakan Nagari Minangkabau. Peristiwa apakah
itu? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Nagari Minangkabau.
Dahulu,
di Sumatera Barat, tersebutlah sebuah kerajaan bernama Kerajaan
Pagaruyung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan
bijaksana. Rakyatnya senantiasa hidup aman, damai, dan tenteram. Suatu
ketika, ketenteraman negeri itu terusik oleh adanya kabar buruk bahwa
Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa akan menyerang mereka. Situasi
tersebut tidak membuat para punggawa Kerajaan Pagaruyung gentar.
“Musuh
pantang dicari, datang pantang ditolak. Kalau bisa dihindari, tapi
kalau terdesak kita hadapi,” demikian semboyan para pemimpin Kerajaan
Pagaruyung.
Suatu hari, pasukan Kerajaan Majapahit tiba di Kiliran
Jao, sebuah daerah di dekat perbatasan Kerajaan Pagaruyung. Di tempat
itu pasukan Kerajaan Majapahit mendirikan tenda-tenda sembari mengatur
strategi penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung. Menghadapi situasi genting
itu, para pemimpin Pagaruyung pun segera mengadakan sidang.
“Negeri
kita sedang terancam bahaya. Pasukan musuh sudah di depan mata.
Bagaimana pendapat kalian?” tanya sang Raja yang memimpin sidang
tersebut.
“Ampun, Paduka Raja. Kalau boleh hamba usul, sebaiknya kita
hadapi mereka dengan pasukan berkuda dan pasukan gajah,” usul panglima
perang kerajaan.
“Tunggu dulu! Kita tidak boleh gegabah,” sanggah
Penasehat Raja, “Jika kita serang mereka dengan pasukan besar,
pertempuran sengit pasti akan terjadi. Tentu saja peperangan ini akan
menyengsarakan rakyat.”
Suasana sidang mulai memanas. Sang Raja yang bijaksana itu pun segera menenangkannya.
“Tenang,
saudara-saudara!” ujar sang Raja, “Saya sepakat dengan pendapat Paman
Penasehat. Tapi, apa usulan Paman agar peperangan ini tidak menelan
korban jiwa?”
Pertanyaan sang Raja itu membuat seluruh peserta
sidang terdiam. Suasana pun menjadi hening. Semua perhatian tertuju
kepada Penasehat Raja itu, mereka tidak sabar lagi ingin mendengar
pendapatnya. Beberapa saat kemudian, Penasehat Raja itu pun angkat
bicara.
“Ampun, Paduka Raja. Untuk menghindari terjadinya
pertumpahan darah, alangkah baiknya jika musuh kita ajak berunding. Kita
sambut mereka di perbatasan kemudian berunding dengan mereka. Jika
mereka menolak, barulah kita tantang mereka adu kerbau,” ungkap
Penasehat Raja.
“Hmmm... ide yang bagus,” kata sang Raja, “Bagaimana pendapat kalian semua?”
“Setuju, Paduka Raja,” jawab seluruh peserta sidang serentak.
Selanjutnya,
sang Raja bersama punggawanya pun menyusun strategi untuk mengalahkan
musuh tanpa pertumpahan darah. Sang Raja segera memerintahkan kepada
putri Datuk Tantejo Garhano untuk menghiasi anak-anak gadisnya dan
dayang-dayang istana yang cantik dengan pakaian yang indah. Datuk
Tantejo Garhano adalah seorang putri yang memiliki tata krama dan
kelembutan. Sifat-sifat itu telah diajarkan oleh Datuk Tantejo Garhano
kepada anak-anak gadisnya serta para dayang istana.
Setelah semua
siap, Datuk Tantejo Garhano bersama anak-anak gadisnya serta
dayang-dayang istana menuju ke perbatasan untuk menyambut kedatangan
pasukan musuh. Mereka pun membawa berbagai macam makanan lezat untuk
menjamu pasukan Majapahit. Sementara itu, dari kejauhan, pasukan
Pagaruyung terlihat sedang berjaga-jaga untuk menjaga segala kemungkinan
yang bisa terjadi.
Tak berapa lama setelah rombongan Datuk Tantejo
Garhano tiba di perbatasan, pasukan musuh dari Majapahit pun sampai di
tempat itu.
“Selamat datang, Tuan-Tuan yang budiman,” sambut Datuk
Tantejo Garhano dengan sopan dan lembut. “Kami adalah utusan dari
Kerajaan Pagaruyung. Raja kami sangat senang dengan kedatangan Tuan-Tuan
di istana. Tapi sebelumnya, silakan dicicipi dulu hidangan yang telah
kami sediakan! Tuan-Tuan tentu merasa lapar dan lelah setelah menempuh
perjalanan jauh.”
Melihat perlakuan para wanita cantik itu, pasukan
Majapahit menjadi terheran-heran. Mereka sebelumnya mengira bahwa
kedatangan mereka akan disambut oleh pasukan bersenjata. Namun, di luar
dugaan, ternyata mereka disambut oleh puluhan wanita-wanita cantik yang
membawa hidangan lezat. Dengan kelembutan para wanita cantik tersebut,
pasukan Majapahit pun mulai goyah untuk melancarkan serangan hingga
akhirnya menerima tawaran itu.
Setelah pasukan Majapahit selesai
menikmati hidangan dan beristirahat sejenak, Datuk Tantejo Garhano
segera mengajak pemimpin mereka ke istana untuk menemui sang Raja.
“Mari, Tuan! Raja kami sedang menunggu Tuan di istana!” bujuk Datuk Tantejo Garhano dengan santun.
“Baiklah, saya akan segera menemui Raja kalian,” jawab pemimpin pasukan itu.
Setiba
di istana, Datuk Tantejo Garhano langsung mengantar pemimpin pasukan
itu masuk ke ruang sidang. Di sana, sang Raja bersama punggawanya
terlihat sedang duduk menunggu.
“Selamat datang, Tuan,” sambut sang Raja, “Mari, silakan duduk!”
“Terima kasih, Paduka,” ucap pemimpin itu.
“Ada apa gerangan Tuan kemari?” tanya sang Raja pura-pura tidak tahu.
“Kami diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Pagaruyung. Kami pun harus kembali membawa kemenangan,” jawab pemimpin itu.
“Oh,
begitu,” jawab sang Raja sambil tersenyum, “Kami memahami tugas Tuan.
Tapi, bagaimana kalau peperangan ini kita ganti dengan adu kerbau.
Tujuannya adalah untuk menghindari pertumpahan darah di antara pasukan
kita.”
Pemimpin pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menyetujui usulan sang Raja.
“Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran Paduka,” jawab pemimpin itu.
Akhirnya,
kedua belah pihak bersepakat untuk beradu kerbau. Jika kerbau milik
sang Raja kalah, maka Kerajaan Pagaruyung dinyatakan takluk. Tapi, jika
kerbau milik Majapahit kalah, mereka akan dibiarkan kembali ke Pulau
Jawa dengan damai.
Dalam kesepakatan tersebut tidak ditentukan jenis
maupun ukuran kerbau yang akan dijadikan aduan. Oleh karena ingin
memenangi pertandingan tersebut, pasukan Majapahit pun memilih seekor
kerbau yang paling besar, kuat, dan tangguh. Sementara itu, sang Raja
memilih seekor anak kerbau yang masih menyusu. Namun, pada mulut anak
kerbau itu dipasang besi runcing yang berbentuk kerucut. Sehari sebelum
pertandingan itu dihelat, anak kerbau itu sengaja dibuat lapar dengan
cara dipisahkan dari induknya.
Keesokan harinya, kedua kerbau aduan
segera dibawa ke gelanggang di sebuah padang yang luas. Para penonton
dari kedua belah pihak pun sedang berkumpul di pinggir arena untuk
menyaksikan pertandingan yang akan berlangsung sengit tersebut. Kedua
belah pihak pun bersorak-sorak untuk memberi dukungan pada kerbau aduan
masing-masing.
“Ayo, kerbau kecil. Kalahkan kerbau besar itu!” teriak penonton dari pihak Pagaruyung.
Dukungan dari pihak pasukan Majapahit pun tak mau kalah.
“Ayo, kerbau besar. Cincang saja anak kerbau ingusan itu!”
Suasana
di tanah lapang itu pun semakin ramai. Kedua kerbau aduan telah dibawa
masuk ke dalam arena. Suasana pun berubah menjadi hening. Penonton dari
kedua belah pihak terlihat tegang. Begitu kedua kerbau tersebut dilepas,
kerbau milik Majapahit terlihat beringas dan liar. Sementara itu, anak
kerbau milik Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada kerbau besar
itu karena mengira induknya.
Tak ayal, perut kerbau milik Majapahit
pun terluka terkena tusukan besi runcing yang terpasang di mulut anak
kerbau milik Pagaruyung. Setelah beberapa kali tusukan, kerbau milik
pasukan Majapahit akhirnya roboh dan terkapar di tanah. Melihat kejadian
itu, penonton dari pihak Pagaruyung pun bersorak-sorak gembira.
“Manang kabau..., Manang kabau...,” demikian teriak mereka.
Akhirnya,
pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan tersebut. Mereka
pun diizinkan kembali ke Majapahit dengan damai. Sementara itu, berita
tentang kemenangan kerbau Pagarayung tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Kata “manang kabau” yang berarti menang kerbau pun menjadi pembicaraan
di mana-mana. Lama-kelamaan, pengucapan kata “manang” berubah menjadi
kata “minang”. Sejak itulah, tempat itu dinamakan Nagari Minangkabau,
yaitu sebuah nagari (desa) yang bernama Minangkabau.
Sebagai upaya
untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri Pagaruyung merancang
sebuah rumah rangkiang (loteng) yang atapnya menyerupai bentuk tanduk
kerbau. Konon, rumah itu dibangun di perbatasan, tempat pasukan
Majapahit dijamu oleh para wanita-wanita cantik Pagaruyung.
Rabu, 27 Maret 2013
Asal Mula Nama Nagari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar