Pada zaman dahulu, di Pulau Natuna, hiduplah sepasang suami istri
yang miskin. Hidup mereka dari hari ke hari tak pernah membaik. Semua
pekerjaan yang mereka upayakan tak pernah bisa cukup untuk sekedar
memperbaiki nasib. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja lebih sering tak
cukup.
Hingga suatu hari, sang suami yang bernama Baitusen mendengar cerita
tentang Pulau Bunguran yang kaya akan hasil lautnya. Maka, tak menunda
waktu berlama-lama berangkatlah Baitusen dan Mai Lamah, istri yang
dicintainya ke pulau tersebut.
Sesampai di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan
pengumpul siput dan kerang seperti pekerjaan penduduk lainnya. Sedangkan
istrinya, Mai Lamah, membantu membuka kulit kerang untuk dijual sebagai
bahan perhiasan.
Lama berselang setelah mereka tinggal di Pulau Bunguran, kehidupan
Baitusen dan istrinya mulai membaik. Mereka hidup berbahagia. Tak hanya
itu, penduduk Pulau Bunguran sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan
dan suka menolong tanpa pamrih apapun. Itu jugalah yang membuat
Baitusen kerasan tinggal di sana.
Kebahagiaan Baitusen dan Mai Lamah makin bertambah ketika Mai Lamah
mulai mengandung. Baitusen yang begitu tahu perihal kehamilan istrinya
semakin giat bekerja. Hasil tangkapannya sekarang bukan hanya kerang.
Baitusen mulai mencari teripang dan hasil laut lainnya. Harga
teripang kering di daratan Cina sangat mahal. Dengan sekuat tenaga,
Baitusen mengupayakan apa saja demi kesejahteraan keluarganya. Dia tidak
ingin anaknya hidup susah seperti yang pernah dia alami sebelumnya.
Kegigihan Baitusen bekerja membuahkan hasil. Namanya semakin terkenal
di antara para pedagang Cina pembeli teripang kering. Tak perlu
menunggu lama, sejak menjadi nelayan penangkap teripang Baitusen menjadi
orang terkaya dan terpandang di kampungnya.
Agaknya, kekayaan dan hidup mewah telah membutakan mata hati Mai
Lamah. Mai Lamah telah menjadi nyonya kaya yang tinggi hati lengkap
dengan dandanan yang seakan-akan menunjukkan kesombongannya. Mai Lamah
lupa daratan. Silaunya harta telah merubah perangainya. Acap dia berkata
kasar dan menyakiti hati tetangganya, ditambah lagi sifatnya yang
sangat kikir dan tak peduli pada kesusahan tetangga. Teguran demi
teguran dari suaminya tak pernah dihiraukan.
Para tetangga mulai menjauh dari keluarga Baitusen perlahan-lahan.
Mereka mulai enggan untuk menyapa Mai Lamah, tetapi Mai Lamah justru
merasa beruntung.
”Baguslah lagi macam ni. Tak banyak yang nak menyusahkan hidup kita,
Bang,” begitu ucapan Mai Lamah pada suaminya suatu hari. Baitusen coba
menasehati. Tapi, yang didapat Baitusen hanya kemarahan dari Mai Lamah.
Mai Lamah tak bisa lagi masuk nasihat.
Hari berlalu begitu cepat hingga tak terasa tibalah waktunya bagi Mai
Lamah untuk melahirkan. Baitusen yang panik mendengar erangan sakit
dari istrinya, mencari pertolongan pada dukun beranak kampung yang biasa
menolong orang-orang. Akan tetapi, karena rasa sakit hati akan ucapan
Mai Lamah yang pernah menghina dirinya, membuat dukun beranak tadi tak
sudi menolong Mai Lamah. Hatinya terlanjur terlalu luka oleh perkataan
istri Baitusen.
Telah satu kampung dikelilingi Baitusen untuk mencari pertolongan
bagi istrinya, tetapi tak satu pun yang sudi menolong. Tak ada jalan
lain. Baitusen tak tega melihat istrinya menanggung rasa sakit semakin
lama.
“Baik kita ke dukun beranak di seberang pulau sana saja, Dik.”
Baitusen mencoba membujuk istrinya, “Abang dengar dekat sana ada yang
bisa membantu. Baik kita bergegas.”
Mai Lamah yang tak punya pilihan lain akhirnya setuju. “Tapi, jangan
lupa bawa juga semua emas kita, Bang.” Baitusen terpaksa menurut dan
kembali lagi untuk mengambil emas dan memasukkannya ke perahu yang akan
membawa mereka ke seberang.
Baitusen mendayung perahu dengan sekuat tenaga agar tiba di pulau
seberang lebih cepat. Namun, sekuat apa pun Baitusen mengayuh, perahunya
tetap saja tak bisa bergerak lebih cepat. Gelombang pasang memperlambat
laju perahu. Ditambah lagi berpeti-peti emas yang memberati kapal.
Semakin ke tengah, perahu makin berguncang diamuk arus gelombang.
Setengah mati Baitusen mendayung hingga habis seluruh tenaganya. Air
semakin banyak masuk ke dalam perahu. Mai Lamah menjerit ketakutan. Di
ujung sana, ombak besar menunggu untuk melahap perahu mereka. Dengan
sekali sapuan, perahu terobang-ambing hingga kemudian terbalik dan
tenggelam. Karam.
Tubuh Baitusen dan Mai Lamah hanyut terbawa gelombang air laut dan
terdampar di pantai Pulau Bunguran Timur. Hujan deras dan angin kencang
berpadu dengan kilat tak berhenti. Petir dan tiupan angin seolah saling
bersahutan menyambut kedatangan sepasang suami istri yang terkapar di
bibir pantai. Mai Lamah yang berbadan dua tersambar petir berkali-kali
hingga mengubah tubuhnya menjadi batu.
Semakin lama, batu jelmaan tubuh Mai Lamah semakin membesar dan
menjadi sebuah pulau yang dinamakan Pulau Senua. Sedangkan perhiasan
emas yang dikenakan Mai Lamah berubah menjadi Pulau Bunguran.
___________
Catatan kaki: Oleh masyarakat sekitar, nama Senua berarti satu
tubuh berbadan dua. Terletak di ujung Tanjung Senubing, Bunguran Timur.
Saat ini, Pulau Bunguran terkenal sebagai pusat sarang burung Walet.
Kamis, 28 Maret 2013
Legenda Pulau Senua
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar