Di Pulau Belitung tinggallah sepasang
suami istri yang hidup miskin dan sudah tua. Selama menikah mereka belum
dikaruniai seorang anak pun. Usia yang semakin menua menyebabkan
keinginan mereka untuk memiliki anak semakin kuat. Mereka berfikir jika
saja memiliki seorang anak pastilah anak tersebut dapat membantu mereka
mengurus rumah, mencari nafkah dan merawat mereka jika sudah tidak mampu
untuk bekerja lagi. Namun sangat disayangkan karena tidak ada seorang
anak pun yang mau menjadi anak asuh mereka karena kehidupan suami istri
yang sudah tua dan miskin itu.
Sang nenek berfikir bahwa dia akan
menerima anak dengan gembira walaupun anak tersebut hanya seukuruan jari
kelingking. Bagaikan do’a yang di makbulkan Tuhan tiba-tiba saja si
nenek tersebut hamil dan setelah cukup bulan diapun melahirkan seorang
bayi laki-laki. Namun, seperti yang dikatakannya dulu bahwa anak
tersebut hanya seukuran jadi kelingking orang dewasa. Walaupun sudah
diberi makan yang cukup tubuh anak tersebut tidak juga membesar, karena
memiliki tubuh yang kecil anak tersebut di beri nama si kelingking.
Mendapat anak yang tidak seperti
biasa menyebabkan kakek dan nenek tersebut merasa malu jika ada tetangga
yang tau. Mereka akhirnya sepakat untuk membunuh anak tersebut agar
tidak diketahui orang lain. Suatu hari sang kakek membawa anaknya ke
hutan dan mengatakan bahwa dia akan menebang pohon yang besar. Si
kelingking di suruh berdiri tepat di samping pohon besar itu. Sang kakek
dengan semangat lalu menebang pohon tersebut dan benar saja, pohon itu
jatuh tepat mengenai kepala si kelingking. Melihat hal itu sang kakek
merasa gembira dan pulang ke rumahnya.
Sore hari ketika sang kakek dan nenek
duduk di beranda tiba-tiba terdengar suara anak kecil terteriak-teriak
sambil membawa batang kayu yang besar. Anak kecil itu tak lain adalah si
kelingking. Dia datang membawa pohon besar tersebut. Kemudian si kakek
menyuruh kelingking untuk membelah pohon itu menjadi potongan kayu yang
kecil untuk di jadikan kayu bakar. Si kelingking tetap senang
mengerjarkan pekerjaan yang diperintahkan ayahnya.
Walaupun begitu kakek dan nenek yang
tidak lain adalah orang tua si kelingking ternyata tetap tidak senang
dan ingin mencoba membunuh kelingking sekali lagi. Oleh karena itu suatu
hari sang kakek mengajak kelingking ke kali sungai yang besar. Kakek
tersebut bermaksud ingin menggulingkan batu yang besar agar menimpa
kelingking. Kakek tersebut berbohong pada anaknya bahwa batu itu akan
dijadikan pondasi rumah mereka.
Si kelingking merasa senang akan
memiliki rumah baru sehingga dia mengikuti ayahnya ke sungai. Sampai di
sungai kakek tersebut memerintahkan kelingking untuk berdiri di sebelah
batu besar, kemudian sang kakek menggunakan linggis untuk menggeser batu
besar itu. Si kelingking yang tidak mengira merasa terkejut ketika batu
tersebut menggelinding ke arahnya. Setelah si kelingking terlindas oleh
batu besar tersebut, sang kakek dengan senang pulang kerumah dan
memberi tahu istrinya.
Ketika sore hari alangkah terkejutnya
kedua suami istri tersebut saat mendengar suara seorang anak yang
berteriak hendak di letakkan di mana batu besar itu. Ternyata kelingking
pulang sambil membawa batu besar yang tadi telah menimpanya. Sang kakek
lalu memerintahkan kelingking untuk memecah batu tersebut menjadi
kecil-kecil agar bisa di jadikan pondasi rumah mereka. Melihat
kelingking mengerjakan semua pekerjaan dengan gembira kakek dan nenek
itu merasa sangat menyesal karena telah berusaha membunuh kelingking.
mereka lalu meminta maaf kepada kelingking dan merawatnya dengan penuh
kasih sayang.
Cerita rakyat Si Kelingking dari Bangka Belitung
mengisahkan seorang anak yang baik tapi disia-siakan oleh orangtuanya.
Ini merupakan sebuah pelajaran besar bagi orangtua agar dapat menerima
lalu memelihara dan mendidik anak-anaknya agar lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar